Hidup Berbeda


Banyak orang takut untuk memilih jalan yang berbeda. Jalan yang sunyi, jalan yang jarang dilewati oleh orang lain. Jalan yang begitu menggelisahkan karena tidak benar-benar tahu apa yang ada di depan sana dan apa yang akan ditemui di perjalanan. Jalan yang sebenarnya menjadi impian tapi realita kehidupan mengalahkan seluruh impian itu. Impian itu dikalahkan oleh pikirannya sendiri karena khawatiran pada kepastian masa depan. Padahal tentang masa depan, siapa yang tahu?

Bagaimana kalau kita berpikir sejenak untuk memilih jalan yang berbeda. Tentu saja berbeda dengan jalan yang sedang kita lalui hari ini. Saat begitu banyak orang berlomba ingin mendapatkan beasiswa, bagaimana kalau kita menjadi orang yang memberikan beasiswa? Meski mungkin kemampuan kita sedikit, bukan berarti tidak mungkin kan? Kita memberikan sebagian rezeki kita untuk menyekolahkan orang-orang yang tidak lebih beruntung dari kita? Atau harus menunggu mapan dulu, berpenghasilan banyak, baru menyekolahkan mereka? Bukankah kita bermain dengan waktu, jika itu terjadi dalam 4-8 tahun lagi, sudah berapa jenjang yang terlewatkan oleh adik-adik kita hari ini di luar sana kehilangan kesempatannya?

Saat begitu banyak orang ingin keluar negeri? Adakah yang ingin keluar dari pikirannya tentang diri sendiri? Pergi menyusuri jalanan kota dan desa di negeri ini untuk bertemu dengan rakyat yang katanya dulu kita perjuangkan di tengah demonstrasi? Bertemu dengan orang-orang yang katanya menjadi alasan kita pergi jauh, nanti ilmunya akan dimanfaatkan untuk membantu masyarakat? Bukankah selepas kepulangan banyak yang duduk manis di bawah AC ruang kantor perusahaan multinasional?

Saat begitu banyak orang sibuk mencari pekerjaan selepas lulus dari kuliah. Bagaimana kalau kita mengambil jeda untuk menikmati perjalanan? Sudah 16 tahun kita tidak henti-hentinya sekolah dari SD hingga Perguruan Tinggi, sampai hampir tidak ada waktu untuk menerapkan setiap rinci pelajaran yang kita dapatkan. Karena kita sibuk mengejar nilai, IPK, mengejar masuk sekolah bagus di jenjang berikutnya? Sampai kita tidak pernah bisa memahami untuk apa kita belajar biologi dan fisika, untuk apa kita belajar tentang semua itu karena kita kebingungan dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Mari kita ambil jeda, melakukan perjalanan. Tidak perlu memikirkan tentang mencari pekerjaan, mari kita temukan dan cari tahu apa yang sebenarnya kita mau. Hidup kita jangan hanya itu-itu saja; lahir-sekolah-lulus-bekerja-menikah-punya anak-dan mati.

Saat begitu banyak orang berlomba ke kota, terutama ke Jakarta. Bagaimana kalau kita kembali ke kampung halaman kita masing-masing? Tidak perlu malu meletakkan gelar sarjana kita dan duduk bersama dengan para petani, memegang cangkul, ikut panas-panasan kerjabakti. Seringnya orientasi kita terhadap materi membuat kita malu untuk melakukan hal-hal demikian, dirasa tidak sepadan dengan gelar sarjana yang kita emban. Bagaimana kalau kita membuat pekerjaan untuk diri kita sendiri, bila setiap orang berpikir demikian, tentu tidak akan ada pengangguran. Ah lagi-lagi, permasalahanya di orientasi kita terhadap kehidupan dan materi. Kita terlalu lama hidup di kota besar, sekolah di kota besar, dan gaya hidup kita pun berubah ingin mengikuti kehidupan di kota besar.

Saat begitu banyak orang takut mempertahankan idealismenya. Bagaimana kalau kita menjadi orang yang percaya bahwa hidup dengan idealisme bukanlah sebuah omong kosong. Saat orang-orang menyuruh kita agar realistis, nyatanya kehidupan ini sudah dikatakan oleh Yang Maha Kuasa bahwa semua ini semu, tidak realistis. Karena kehidupan yang hakiki adalah setelah kematian. Mengapa kita ragu untuk mempertahankan idealisme? Apakah karena takut pada kemiskinan dan masa depan?

Menjadi berbeda tentu bukan hal mudah. Karena entah mengapa dunia ini terlihat begitu indah. Benar-benar melenakan. Dan masa depan terlihat begitu mencemaskan, benar-benar menakuti kita untuk membuat pilihan-pilihan yang tidak biasa.

Oleh : kurniawangunadi
Previous
Next Post »
0 Komentar