Perjumpaan perempuan yang pendiam dengan laki-laki yang tak peka adalah bencana. Adalah erupsi gunung berapi. Adalah banjir bandang. Adalah angin puting beliung. Adalah tsunami. Adalah aku dan kamu.
Aku yang tak berbakat menerjemahkan keterdiaman. Aku yang terlalu lugu—merasa bahwa semua baik-baik saja. Aku yang punya keterampilan kurang memadai dalam mengerti apa yang ada di dalam hati.
Dan kamu yang batu. Atau patung tanpa ekspresi. Tak bergerak, tak bersuara, bahkan untuk sekedar berucap ‘aduh’, atau ‘tidak’. Kamu yang diam-diam berairmata. Menangis dalam sunyi untuk menyembunyikan kesedihan. Menyimpannya sendiri di tempat-tempat yang tak mungkin kutemui.
Karena aku laki-laki yang tak peka.
Yang tertawa saat jiwamu merintih. Yang terus melangkah saat kau kelelahan dan tertinggal jauh di belakang.
Ah, laki-laki memang harus lebih merasa. Sebab perempuan tak bisa dipaksa bersuara.
..
Azhar Nurun Ala
0 Komentar